Sabtu, 21 November 2009

SURGA NERAKA



Surga dan n
eraka hanyalah cerita fiksi yang diciptakan oleh para pendahulu
untuk menarik perhatian para kaum awam agar mau untuk diajak beribadat denagan ajaran-ajaran baru mereka.
Sebenarnya kalau mau dipelajari ulang surga dan neraka
hanya untuk fisik, susah, sedih, galau,teraniaya, itulah neraka, sang senang, bahagia ketentraman, itulah surga, sebenarnya suraga dan neraka itu ciptaan manusia sendiri sedang tuhan hanya menciptakan manusia dan alam semesta.
Anda sekarang bisa memilih sendiri
surga atau neraka, terserah yang ada pilih. Asalkan anda sabar, tulus apa adanya dan selalu bersyukur saya yakin surga yang akan terasa, tapi jikalau anda merasa semua serba kurang karena ke egoan dan kerakuasan anda sendiri secara otomatis neraka yang akan terasa. maaf lhoo bukan maksut menggurui para sesepuh atau para senior,coba anda kembali kenurani anda sendiri dan berkaca pada kepribadian anda sendiri gak perlu membaca kitab-kitab yang isinya hanya cerita dan dongeng orang-orang yang terdahulu, kitab hanyalah suatu cerita sebagai contoh baik dan buruk tapi yang memilih dan menjalani akhirnya tetap kita sendiri Coba aja kalau gak ada surga dan neraka apa kyai, ustadz, pastur, dll mau menyembah tuhannya, pasti dak mau jadi lebih baik ke diri kita sendiri nurani adalah jalan menuju tuhan, ada mau berbuat apa aja semua akan berbalik karena diri anda adalah cermin kehidupan. Jangan sampai anda dikendalikan dengan sesuatu yang belum sepenuhnya anda fahami, fisik memang mudah di goda tapi rohani tidak, sebetapa bejat-bejatnya orang masih punya rasa sedih dan takut akan sesuatu, itulah fisik.
ketenangan anda adalah kunci menuju surga anda surga ketentraman, karena kalau, kita meninggal tiada cerita masuk surga dan neraka kecuali cerita pembodohan untuk orang awam atau orang level syariat.
sekali lagi maaf, cuma share gak ada maksut melecekehkan agama atau individu tertentu.

salam sejahtera, penuh cinta kasih dan dharma
,

dimasyayan@yahoo.com

Selasa, 22 September 2009

MELURUSKAN MAKNA MISTIS



Pada dasarnya, manusia adalah makhluk mistik

Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti akekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu (kesadaran “kulit”).
Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi negatif. Walau bermakna sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.
Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.
Selama puluhan tahun, kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism, westernisme dan agamisme. Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit, irasional, dan primitive.
Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum agamisme sebagai paham sesat dan sumber kemusrikan.
Pandangan itu salah besar, jika tidak mau disebut sebagai fitnah keji !
Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah. Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri, kepentingan rezim, dan kepentingan egoisme (keakuan).
Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan, diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan, ela-elu, dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah mistis yang sesungguhnya.
Untuk itu, perlulah kiranya saya ingin berbagi kepada para pembaca yang budiman, mengenai makna yang sejatinya akan istilah mistis.
Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana, selalu hati-hati terutama dalam menilai seseorang atau suatu kelompok, golongan dan cara pandang masyarakat tertentu.
Jika perilaku hidup dan pola piker kita tidak eling dan waspada, kita akan melebur ke dalam roda “wolak-waliking jaman” di mana orang salah akan berlagak selalu benar.
Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh. Emas dianggap Loyang (besi). Besi dikira emas.
Burung bangau dianggap dandang (alat menanak nasi).
Yang asli dianggap palsu, yang palsu dibilang asli.
Semua serba salah kaprah, kacau-balau, chaos, dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.
Eksistensi Mistik Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi tertinggi kesadaran manusia, di mana ragam perbedaan (“kulit”) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan.
Kesadaran tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikir nya.
Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni eksistensi kesadaran batin.

Meskipun demikian, eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah berhendi pada perilaku batin (bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (solah).
Artinya, mistik bukanlah sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama manusa dan makhluk lainnya.
Apakah anda ingin menjadi seorang agamis, yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama berupa penampilan fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya.
Agamis hanya kenyang teori-teori agama atau dalil-dalilnya saja.
Ataukah sebaliknya anda ingin menjadi seorang praktisi (penghayat) akan teori-teori tersebut sehingga tidak omong doang. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk memilih, masing-masing akan membawa dampak yang berbeda-beda.
Dalam menjabarkan istilah mistik, saya sangat sepakat dengan guru besar Filsafat UGM Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa cirri-ciri mistikisme adalah sbb ;

1. Mistisisme adalah persoalan praktek.


2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.


3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.


4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.


5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Jika kita cermati dari kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional.
Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual.
Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio dengan “logika” batin.
Pelaku mistik dapat memahami noumena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal.
Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi di alam gaib.

Sebagai contoh ;


Kenapa simpanan uang di Bank tidak ada yang hilang di curi makhluk pesugihan ? Atau perhiasan emas di toko emas tidak bias hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan ?
Secara logis-rasional, makhluk pesugihan yang sering mencuri uang atau perhiasan di rumah-rumah penduduk seharusnya bias mencuri uang dan perhiasan di kedua tempat tersebut.
Namun kenyataannya kedua jenis harta kekayaan tersebut tidak bias dicuri oleh makluk gaib sejenis pesugihan manapun.
Hal ini dikarenakan terdapat rumus di alam gaib yang berbeda dari dimensi bumi.
Pada kesempatan selanjutnya saya akan bahas mengenai sebagian rumus-rumus di alam gaib (hukum di alam gaib) yang sejauh ini bisa saya ketahui, pernah saksikan dan buktikan dengan mata kepala sendiri.

Agama sebagai sarana menggapai tataran spiritual.
Sementara spiritual adalah kesadaran tinggi akan nilai-nilai transenden atau ketuhanan.
Mistisisme adalah wujud kesadaran itu dalam laku perbuatan konkrit. Dengan adanya kesadaran yang cukup memadai akan bagaimana sesungguhnya yang terjadi di alam gaib hal itu membuka pola pikir kita sehingga mampu memahami noumena kegaiban secara logis.
Hal ini menjadikan para pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya sekedar yakin, tetapi dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana “rumus-rumus halus” akan bekerja.
Antara pengetahuan spiritual dengan tindakan nyata seiring dan seirama. Bagaikan lirik dengan syairnya.
Aransemen dengan nada-nada musicnya.
Sastra dengan gendhingnya. Sinergis dan harmonis, antara pengetahuan spiritual dengan perbuatannya.
Menjadikan para pelaku spiritual sejati justru terkesan lebih santun dan memiliki sense on humanity yang tinggi, memiliki kepekaan social, solidaritas dan toleransi, kepedulian lingkungan social dan alam yang sangat mendalam. Perilaku-perilaku yang menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang orang-orang bergaya “agamisme” (kesadaran symbolic) yang terkadang perilakunya lepas kendali, sewenang-wenang dan beringas, emosional dan reaksional.
Karena merasa diri menjadi sangat kuat telah menjadi orang yang memegang hak istimewa (privilege) di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penjelasan singkat mengenai arti harfiah dan maknawiah tentang mistik, dapat diambil benang merah bahwa mistik Kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa.
Atau disebut jawaisme (javanism).
Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa, adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata.
Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaksioner, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik apa itu nilai-nilai dalam falsafah hidup Kejawen.
Mistik kejawen merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap masyarakat, bangsa dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup.
Sekedar contoh, misalnya mistik Islam, dikenal dengan tradisi tasawuf, orang-orang yang mendalami disebut orang-orang zuhud, dan para sufistik. Mistik Budha atau Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, dan masih terdapat ratusan bahkan ribuan lagi banyaknya mistik-mistik di dunia ini.

Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan dengan agama, sebab mistik tidak mempersoalkan apa latar belakang ajaran, agama, budaya orang yang ingin menghayati.
Hal itu tidak menimbulkan resiko terjadinya benturan nilai-nilai, karena dalam tradisi mistik yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu mengambil sisi maknawiahnya yang bersifat hakekat atau esensial.
Orang Jawa, Hindu, Kristen dan Budha, bias saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam bias pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim agama akan membuat batasan-batasan tegas kepada para penghayat mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudis, pencitraan secara subyektif, dan punishment yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhdap lintas budaya dan agama, kita ambil contoh sederhana saja misalnya, sebagian umat Islam melarang sesame umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah mistik Islam. Pelarangan dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga pelarangan seringkali bekerja secara efektif membelenggu dinamika kesadaran umat.
Yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.
Hal Yang Berbeda Dalam Mistik Kejawen

1. Kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama yang ada. Karena Kejawen bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi nusantara. “Kitab Suci” Kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan gelmu titen, indera yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.

2. Di samping nilai-nilai kearifan local yang adiluhung, Kejawen menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local. Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup Jawa atau Kejawen. Jika definisikan, mistik kejawen merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan local yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat Kejawen mudah menerima anasir asing yang positif. Berbeda dengan nilai agama yang bersifat statis, kaku atau saklek dan anti-perubahan, nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdor, kalau nilai agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah Kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.


3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan YME. Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya. Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.


4. Istilah ritual seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan buang-buang waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma agama. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih kesuksesan termasuk keselamatan. Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran primitif dan tidak masuk akal.


5. Sesaji merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring, atau banyak mulut doang, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji. Misalnya; doa yang beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial.
Ilmu “Kesaktian” Sejati Kesimpulan dari semua itu, Kejawen merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan kehendak Tuhan (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah kepada Tuhan YME. Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati mistik Kejawen. Muara dari perjalanan spiritual pelaku mistik Kejawen, tidak lain untuk menemukan “lautan” rahmat Tuhan, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Meraih nibbana menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul wujud. Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis. Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energi Tuhan, menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau disitilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandikan Tuhan bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia. Tuhan yang bersemayam di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada “being” di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan rapal wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu manembah dalam setiap perbuatannya. Cirikhas orang yang kesaktiannya berkat manembah (kesaktian sejati/ilmu putih) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih kasih.

Salam roh semesta alam,


dimasyayan@yahoo.com

NILAI HAKEKAT MISTIK KEJAWEN



“Urip ing ngalam dunya, ora liya mung pinangka kanggo netepi titahing Gusti”
PUCUNG (Sembah Jiwa/Hakekat)

* Ngelmu iku Kalakone kanthi laku Lekase lawan kas Tegese kas nyantosani Setya budaya pangekese dur angkara Ilmu (hakekat) itu diraih dengan cara menghayatinya dalam setiap perbuatan, dimulai dengan kemauan. Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama, Teguh membudi daya Menaklukkan semua angkara

* Angkara gung Neng angga anggung gumulung Gegolonganira Triloka lekeri kongsi Yen den umbar ambabar dadi rubeda. Nafsu angkara yang besar ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan berubah menjadi gangguan.
* Beda lamun kang wus sengsem Reh ngasamun Semune ngaksama Sasamane bangsa sisip Sarwa sareh saking mardi martatama Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai, Watak dan perilaku memaafkan pada sesama, Selalu sabar berusaha menyejukkan suasana,

* Taman limut Durgameng tyas kang weh limput Karem ing karamat Karana karoban ing sih Sihing sukma ngrebda saardi pengira Dalam kegelapan. Angkara dalam hati yang menghalangi, Larut dalam kesakralan hidup, Karena temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung

*Yeku patut tinulat tulat tinurut Sapituduhira, Aja kaya jaman mangkin Keh pra mudha mundhi diri Rapal makna Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti seperti semua nasehatku. Jangan seperti zaman nanti Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat,

*
Durung becus kesusu selak besus Amaknani rapal Kaya sayid weton mesir Pendhak pendhak angendhak Gunaning jalma Belum mumpuni sudah berlagak pintar. Menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir, Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.

*
Kang kadyeku Kalebu wong ngaku aku akale alangka Elok Jawane denmohi Paksa langkah ngangkah met Kawruh ing Mekah Yang seperti itu, termasuk orang mengaku-aku. (padahal) Kemampuan akalnya dangkal, Keindahan ilmu Jawa malah ditolak. Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di mekah,

*
Nora weruh rosing rasa kang rinuruh lumeketing angga anggere padha marsudi kana kene kaanane nora beda Tidak memahami hakekat ilmu yang dicari, sebenarnya ada di dalam diri. Asal mau berusaha, sana sini (ilmunya) tidak berbeda,

*
Uger lugu Den ta mrih pralebdeng kalbu Yen kabul kabuka Ing drajat kajating urip Kaya kang wus winahya sekar srinata Asal tidak banyak tingkah, agar supaya merasuk ke dalam sanubari. Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya. Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).

* Basa ngelmu Mupakate lan panemune Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuna kuna kang ginilut tripakara Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita. Dapat dicapai dengan usaha yang gigih. Bagi satria tanah Jawa, dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;

* Lila lamun kelangan nora gegetun Trima yen ketaman Sakserik sameng dumadi Tri legawa nalangsa srah ing Bathara Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal, Sabar jika hati disakiti sesama, Ketiga ; lapang dada sambil berserah diri pada Tuhan.

* Bathara gung Inguger graning jajantung Jenek Hyang wisesa Sana pasenedan suci Nora kaya si mudha mudhar angkara Tuhan Maha Agung. Di letakkan dalam setiap hela nafas. Menyatu dengan Yang Mahakuasa, Teguh mensucikan diri, Tidak seperti yang muda, Mengumbar nafsu angkara.

*
Nora uwus Kareme anguwus uwus Uwose tan ana Mung janjine muring muring Kaya buta buteng betah anganiaya Tidak henti hentinya gemar mencaci maki. Tanpa ada isinya, kerjaannya marah-marah seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.

*
Sakeh luput Ing angga tansah linimput Linimpet ing sabda Narka tan ana udani Lumuh ala ardane ginawa gada Semua kesalahan dalam diri selalu ditutupi, Penuh basa-basi mengira tak ada orang yang mengetahui, Katanya enggan berbuat jahat, padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.

*
Durung punjul Ing kawruh kaselak jujul Kaseselan hawa Cupet kapepetan pamrih tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa Belum cakap ilmu. Buru-buru ingin dianggap pandai. Tercemar nafsu selalu merasa kurang, dan tertutup oleh pamrih, sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.

**************************************

Gejolak Pengembaraan Sukma
Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran rasio (akal budi atau cipta) yang ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran batin meliputi; kesadaran jiwa atau sukma, dan kesadaran rahsa (rasa). Tidak hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa). Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai makhluk ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan harmonisasi dan sinergi antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta, antara jagad alit dengan jagad ageng, antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) atau microcosmos dengan jagad ageng (alam semesta) atau macrocosmos. Pergaulan Manusia Dengan Alam Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap desa memiliki tata cara atau tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki aturan dan undang-undang yang berbeda-beda pula. Setiap tata cara, tradisi, budaya, undang-undang tentu akan dipengaruhi oleh pola interaksi antara masyarakat dengan alam sekitarnya. Misalnya masyarakat Arab sejak pra Islam terutama wanita sudah mengenakan burqa atau kain penutup wajah dan kepala. Bentuk mode pakaiannya pun seperti jubah panjang menutup seluruh tubuh. Hal itu disebabkan oleh kondisi alam yang teramat panas di siang hari, dingin di waktu malam hari, dan sering terjadi badai gurun. Pakaian model demikian tentunya akan melindungi tubuh dari keganasan alam sekitarnya. Demikian pula masyarakat Afghan, India, Pakistan, walaupun memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda namun mereka masih satu rumpun yang memiliki akar kebudayaan yang sama. Lihat saja model pakaiannya hampir memiliki kesamaan. Semua itu pada intinya, bahwa tradisi dan budaya merupakan proses interaksi manusia dengan alam. Sehingga terjadi penyeimbangan atau harmonisasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Bahkan karakter alam akan sangat berpengaruh terhadap karakter masyarakatnya. Misalnya masyarakat Sunda yang ramah, andap asor, terbuka, lunak, namun juga cenderung kurang gigih, semua itu dipengaruhi oleh keadaan alam yang subur, cukup air, mudah bercocok tanam, mudah mencari mata pencaharian. Gunung-gunung dan pemandangan alamnya yang menakjubkan mempengaruhi nilai seni dan budayanya pula. Coba perhatikan tiupan seruling Sunda dengan nada-nadanya yang indah meliuk-liuk, merdu dan syahdu menyayat hati. Seolah mengikuti lekuk-liuk kontur pegunungan nan indah dan syahdu. Perhatikan pula logat bahasanya yang mesra mendayu, seolah mengikuti irama alam sekitarnya. Lain halnya dengan masyarakat Madura di wilayah bangkalan. Kondisi alam yang kering dan tanah yang sulit untuk bercocok tanam, menyebabkan gaya hidup yang serba terbatas. Cara bermukim berkelompok. Dan memiliki karakter yang keras. Seolah mengikuti keadaan alam yang ganas dan mengharuskan pola hidup yang keras. Jika mental atau karakternya tidak keras maka akan sulit bertahan hidup di tanah Bangkalan. Mata pencaharian yang sulit akan membangun sikap hemat namun cenderung melakukan invasi ke wilayah masyarakat lain yang lebih subur lingkungan alamnya. Hal itu hampir senada dengan keadaan masyarakat di negara Arab, yang memiliki karakter alam yang sedemikian ganas. Ganasnya alam membuat segala sesuatu menjadi serba sulit. Karena terbiasa menghadapi kehidupan yang sulit itulah akan menimbulkan karakter masyarakat yang keras, sulit bersikap toleran, dan mudah terjadi konflik horisontal misalnya perebutan property, ata pencaharian, dan wilayah kekuasaan. Maka dapat dipahami bahwa konflik horisontal lebih sering terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki karakter alam yang ganas dan keras. Celakanya, kristalisasi nilai kebudayaan yang keras yang berasimilasi ke dalam nilai-nilai agama atau falsafah hidup suatu masyarakat, di kemudian hari akan sangat berbahaya menjadi “doktrin kebenaran” apabila hanya dipahami secara tektual/teksbook. Itulah salah satu alasan mengapa mempelajari agama harus disesuaikan dengan konteks zamannya atau dipahami secara kontekstual. Terlebih lagi apabila nilai-nilai tersebut diekspor ke masyarakat lain yang memiliki karakter berbeda. Akan beresiko terjadi disharmoni dan anti-sinergisme dengan lingkungan alamnya. Masyakarat lokal (origin/pribumi) akan teralienasi oleh “nilai imitasi impor” yang pada gilirannya justru menghilangkan kesadaran tertinggi jati diri, yakni kesadaran rahsa sejati. Ujung dari semua itu, adalah masyarakat yang terombang ambing kehilangan jati diri, tidak mengenali karakter alam sekitarnya, serba salah langkah, dan salah kaprah dalam mengambil kebijaksanaan. Maka kemurkaan alamlah yang terjadi. Banyak cara dapat ditempuh untuk mewujudkannya misalnya dengan “laku” spiritual biasa disebut sebagai “laku prihatin” (perih dirasa ing batin). Cara-cara lainnya misalnya dengan berbagai ritual tradisi dan kebudayaan. Dalam mistik Kejawen atau falsafah hidup Jawa semua itu dapat dimaknai sebagai “laku kebatinan” (rohaniah). Tujuan dari semua itu tidak lain sebagai upaya menggapai kesadaran tinggi yakni kesadaran rahsa sejati. Kesadaran rahsa sejati menjadi pemandu yang efektif dalam manembah kepada Tuhan YME. Pencapaian kesadaran tinggi bukanlah bersifat instan, hanya dengan ritual-ritual misalnya puasa, dan dengan rapalan-rapalan atau wirid saja. Lebih utama dari semua itu adalah amalannya atau laku perbuatan konkrit (manifestasi) dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa memahami bahwa lakutama atau perilaku utama (baik dan mulia) berupa manifestasi perbuatan terhadap sesama makhluk, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lainnya (termasuk alam semesta). Lakutama merupakan jalan utama menuju panembahan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Atau dapat dianalogikan bahwa habluminannas (dimensi horizontal) merupakan jalan utama menggapai habluminallah (dimensi vertikal). Dasar dari laku spiritual adalah amal perbuatan konkrit kepada sesama manusia dan alam semesta atau dimensi habluminannas yakni perbuatan konkrit dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama makhluk (manusia). Amal perbuatan manusia hendaknya dilakukan secara harmonis dan sinergis sesuai dengan kearifan (bahasa) alam. Manusia Jawa memahami bahwa “bahasa” yang terdapat di dalam jagad gumelar ini merupakan “kitab suci” yang penuh dengan petunjuk bahasa / kehendak Tuhan, atau kodrat Tuhan. Sinergisme dan harmonisasi antara jagad alit dengan jagad ageng dipahami sebagai sikap tunduk dan taat manusia (manembah) kepada Sang Pencipta Gusti Ingkang Akarya Jagad (Tuhan Pencipta Alam). Dalam upaya memahami lebijaksanaan alam/kebijaksanaan Tuhan yang tergelar di jagad raya ini antara lain lahirlah rangkaian nilai, yang menajdi pandangan atau filsafat hidup seperti misalnya Hasta Brata. Hasil dari mencermati bahasa alam, dan kehendak Tuhan yang terangkum dalam gerak-gerik fenomena alam, meretas ke dalam perangkat nilai yang kemudian diistilahkan sebagai filsafat hidup, nilai-nilai kebudayaan, tradisi, dan ritual yang banyak sekali mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung. Bila manusia mampu menata perilaku hidupnya seperti halnya perilaku alam yang penuh kebijaksanaan ia akan menemukan rasa sejati dalam pengembaraan sukma. Secara konkrit dapat saya jelaskan bagaimana manusia melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam semesta (jagad gumelar) misalnya ;

1. Alam tempat kita hidup ini, sungguh tak pernah mengeluh, selalu bersedia memberikan kebutuhan manusia untuk melangsungkan kehidupan. Maka konsep manusia mempercayai bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini menuntut konsistensi perbuatan kita hendaknya memiliki sikap welas asih, tepa selira, saling asah asih asuh, terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk hidup tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Manusia hendaknya memahami, menjaga, melindungi dan melestarikan tidak hanya kepada makhluk hidup namun termasuk benda tidak hidup di bumi ini yang meliputi sungai, lautan, gunung, daratan, dan hutan, dst.
Sebaliknya sikap disharmoni dan a-sinergi, tampak pada sebagian manusia yang dengan dalih apapun ingin mencelakai orang lain, membunuh, memfitnah, menyakiti hati. Atau manusia memanfaatkan sumber daya alam secara liar, tidak terkendali, bahkan melakukan eksploitasi alam hingga menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air sungai dan laut, polusi udara. Semua itu merupakan sikap kontradiktori terhadap kodrat / hukum alam, atau kodrat Tuhan. Artinya perilaku manusia demikian menjadi tidak sinergis dan harmonis dengan alam semesta. Akibatnya adalah bencana alam, musibah kemanusiaan, wabah penyakit (endemi), paceklik, salah musim, siklus cuaca yang kacau, global warming.

2. Jika rasio anda mengetahui bahwa jagad raya ini sangat luas meliputi milyaran bintang, dan jumlah galaksi yang banyak, bahkan manusia belum menemukan sampai di mana batas tepi dari jagad raya ini, maka konsep manusia memahami bahwa Tuhan Mahabesar dan Mahaluas Tiada-batas. Dikiaskan sebagai gigiring punglu, atau samodra tanpa tepi. Maka konsekuensi dalam sikap perbuatan hendaknya kita berjiwa besar, toleran, tidak sempit akal, selalu membuka wawasan pikir yang seluas-luasnya. Sikap kita akan lebih arif dan bijak. Tidak suka melakukan prejudis, penilaian sepihak dan vonis subyektif. Tidak pula menghina dan melecehkan yang bodoh. Menghargai pendapat orang lain, serta tidak gengsi berguru kepada siapapun termasuk kepada orang yang dianggap bodoh sekalipun. Bersedia belajar melalui bahasa alam, mau mengambil hikmah dari perilaku positif seekor binatang, yang hina sekalipun. Semua itu berangkat dari kesadaran bahwa Tuhan telah menggelar bahasa dan tanda-tanda kekuasaanNya di setiap jengkal jagad raya ini tanpa kecuali.
Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap hukum alam atau kodrat Tuhan dapat berwujud sikap fanatisme atau anti-toleran, sikap golek menange dewe (cari menangnya sendiri), golek benere dewe (cari benernya sendiri), mbang cinde mbang siladan (pilih kasih), primordialisme agama, rasis, etnosentris. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap kontra-sinergi, atau disharmoni antara microcosmos dengan macrocosmos. Hal ini akan mengurung kesadaran diri (self consciousness) stagnan pada kesadaran imitasi yang membuat diri tidak pernah beranjak belenggu kejahiliahan, yang tanpa pernah kita sadari bersemayam dalam otak, hati, dan batin kita. Orang-orang dalam kesadaran palsu akan cenderung merasa diri sebagai manusia paling suci, alim, soleh, solikhah dan memandang orang lain lebih rendah, kafirun, hina dan sesat.

3. Jika kita percaya bahwa Tuhan Mahapemurah, sebab dalam setiap detik kita dapat menyaksikan bahwa anugrah Tuhan sulit dihitung jumlahnya. Kesadaran konsep demikian hendaklah ditindaklanjuti dengan laku spiritual atau laku batin yang dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit sehari-hari kepada sesama. Sebagai konsekuensinya kita menjadi orang yang murah hati. Tidak enggan melakukan tapa ngrame, gemar membantu dan menolong orang lain secara ikhlas tanpa pamrih. Kecuali hanya sebagai upaya menghayati konsep-konsep ketuhanan, atau netepi titahing Gusti (insan kamil). Giat bekerja dan giat beramal. Harta yang berlebih bukan untuk berfoya-foya dan tidak untuk mengumbar nafsu ragawi. Sebaliknya jika kita lebih banyak harta maka kita akan lebih leluasa dan memiliki kemampuan membantu pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan. Jika kita banyak ilmu tidak segan dan pelit untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Perilaku disharmoni dan a-sinergi antara microcosmos dengan macrocosmos, bilamana manusia memiliki mental kere atau etos pengemis. Inginnya selalu diberi, dikasihani, dilindungi, pelit merkedit dst. Kurang memiliki kepekaan sosial, egois (keakuan), oportunis (mencari untungnya sendiri/golek butuhe dewe). Jika tidak ada imbalan mereka enggan menolong dan membantu sesama.

4. Anda yakin Tuhan Maha Adil dan Bijaksana ? Sebagaimana tampak dalam hukum alam yang penuh keadilan dan keseimbangan. Dalam ilmu biologi Anda dapat mencermati “rantai makanan” yang jelas-jelas mengikuti rumus keseimbangan alam. Binatang di awal “mata rantai” jumlahnya semakin sedikit dan proses populasinya berjalan lamban, sedangkan hewan yang berada ujung mata rantai berkembang biak secara cepat dalam jumlah besar. Itulah “bahasa alam”, “bahasa” tentang keadilan dan kebijaksanaan, yang menginformasikan kepada manusia bahwa Tuhan Maha Adil. Konsekuensinya, manusia harus selalu berbuat adil dan bijaksana dalam “laku” atau perbuatan hidup sehari-hari kepada sesama manusia, makhluk hidup, dan alam semesta.
Sikap sebaliknya, manusia lebih sering melawan kodrat alam. Manusia menutup mata dan telinga lalu dengan seenaknya berbuat melawanan hukum alam yang tertata, tertib, rapi, adil dan bijaksana. Manusia melakukan penebangan hutan secara liar hingga mengakibatkan pemanasan global, banjit dan terjadi abrasi pantai. Manusia melakukan ekploitasi kehidupan laut secara membabi buta sehingga terjadi ketidakseimbangan mata rantai hingga berakibat kepunahan berbagai jenis binatang. Manusia juga merombak sungai menjadi perumahan mewah, jalur hijau dan resapan air “ditanami” bangunan rumah hingga mengakibatkan banjir, tanggul jebol, tanah longsor, semua memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Apakah pola pikir anda masih menganggap bahwa semua itu sebagai “cobaan bagi orang-orang yang beriman” ?. Atau sebagai kehendak Ilahi ? Tidak ! Tuhan tidak sekejam itu, manusialah yang teramat lancang berani menganggap Tuhan sebagai obyek penderita. Lebih tepat dikatakan sebagai “ngunduh wohing pakarti”. Manusia mendapat bebendu atau hukuman atas penentangannya terhadap rumus-rumus alam, hukum alam, atau kodrat Tuhan.

5. Kesadaran kita dalam memahami Tuhan Mahakuasa, adalah sikap penguasaan terhadap hawa nafsu negatif yang ada di dalam diri kita pribadi. Sikap mawas diri, mulat sarira, angon wayah, merupakan penjelmaan atas penghayatan yang sungguh-sungguh terhadap kesadaran bahwa Tuhan Mahakuasa. Sikap antagonisnya terjadi bilamana manusia selalu bernafsu ingin menguasai dan menindas orang lain secara tidak absah. Menaklukkan, menghancurkan, menundukkan dan menghegemoni pihak lain. Sikap megalomania, narsistis, takabur, golek menange dewe, menganggap orang lain tidak benar dan pantas dilenyapkan, merupakan bentuk negasi dari sikap penguasaan terhadap diri pribadi. Bahkan sikap paling ekstrim dan sangat berbahaya adalah bilamana manusia yang maha lemah mengklaim diri sebagai pembela Tuhan Yang Mahakuasa. Mengaku dirinya adalah UTUSAN TUHAN yang berhak membunuh orang lain yang dianggap secara sepihak menurut persepsi pribadi sebagai musuh Tuhan. Apakah mereka tidak menyadari apabila Tuhan memiliki musuh (yang berasal dari makhluk ciptaanNya sendiri) sangat terdengar aneh bila mengutus manusia berada di jalan jihad dengan membunuh musuh-musuhNya. Apakah Tuhan Mahalemah sehingga mengutus manusia membunuh manusia lainnya ? Bukankah kekuasaan Tuhan mampu membunuh milyaran manusia hanya kurang dari satu detik saja ?! Marilah kita camkan bersama. Parameter Keihklasan Berbuat baik dalam hal ini melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi rancu dan bias manakala kita ingin memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam beramal atau berbuat baik. Kalimat tersebut memunculkan pertanyaan, “jika keikhlasan diartikan sebagai sikap tanpa pamrih, apakah ideal jika manusia berharap (pamrih) pahala dan syurga ? Bagi saya pribadi, berharap-harap pahala bukanlah tabiat buruk atau salah. Hanya saja, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku telah berada dalam tataran kesadaran hakekat rasanya menjadi kurang pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. Sebab sebagai manusia dengan kesadaran hakekat akan memiliki perasaan “duwe rasa, ora duwe rasa duwe”. Bukankah Tuhan SUDAH tiap detik selalu memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak kelaparan, tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti dst. Bahkan tanpa pandang bulu anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang koruptor, pencuri, penipu, pembohong, pembunuh. Bahkan dirasakan oleh seluruh umat manusia di bumi tidak tergantung dengan apa agamanya (primordial), apa suku bangsanya (rasis), dan apa kebudayaannya (etnosentris). Begitu banyak rahmat dan berkah Tuhan kita rasakan tiap satu detik saja. Apakah manusia mampu berucap syukur satu kali dalam setiap detiknya ? Tidak ! Lantas tidak malukah kita jika masih saja berharap-arap pahala atau UPAH dari Tuhan atas apa yang kita lakukan ? Kapan kita akan lebih banyak bersyukur ketimbang memohon-mohon. Kapan kita lebih sering “menelungkupkan telapak tangan” daripada “menengadahkan tangan” ? Keikhlasan sempurna dapat saya analogikan seperti kita sedang buang air besar. Walau kita melakukan sesuatu yang baik, memberikan materi yang banyak, namun kita tidak berharap imbalan dari seseorang maupun imbalan dari Tuhan, bahkan sesegeranya kita guyur dengan air agar tidak tercium bau dan tidak lagi kelihatan bentuk dan rupanya. Di sinilah hakekat tapa mendem (bertapa mengubur diri). Yang dikubur / hapus adalah segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama dari ingatan kita. Jika kita berbuat baik kepada orang lain, tulislah di atas tanah agar segera terhapus dari ingatan kita. Jika kita membantu sesama, atau menolong orang lain, maka bertransaksilah kepada Tuhan, bukan bertransaksi kepada orang tersebut. Transaksi kepada Tuhan dalam batas kesadaran kita untuk menghayati konsep ketuhanan atau “netepi titahing Gusti”. Bukan untuk mengkoleksi “upah” pahala. Bersyukur Yang Egois Dalam upaya mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan, manusia sering melakukannya secara egoistis. Di mulutnya mengucapkan hamdalah atau puji Tuhan saja, atau kalimat-kalimat lainnya. Namun kalimat itu hanya sebatas mulut saja (lips service). Sedangkan hatinya, pikirannya, dan perbuatannya tidak menunjukkan adanya harmonisasi dan sinergisme dengan kalimat syukur yang keluar dari mulut. Kita musti selalu eling dan waspada, karena beginilah bentuk kemunafikan paling halus yang sering tidak disadari oleh manusia. Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah tasawuf merupakan bentuk zikir tanpa putus, sedangkan dalam tradisi SSJ dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur dalam diri yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut. Ciptakan Medan Magnet Rasa syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke dalam perbuatan konkrit. Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan seumpama kita sedang membayar hutang. Bagaimana bisa kita membayar hutang namun mengharapkan imbalan ? Nah, walaupun laku perbuatan kita dilandasi sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas, bukan berarti apa yang kita lakukan hanyalah sia-sia dan tidak ada efek positifnya. Perbuatan baik kita (ibadah) –yang berupa sembahyang dan amal perbuatan baik– ditujukan semata-mata sebagai “laku netepi titahing Gusti”. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup di bumi berbuat baik. Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya. Dan tanpa diminta/dimohon pun asalkan manusia mau berbuat baik dengan tulus, ibarat menciptakan pusaran magnet yang secara otomatis akan menebarkan “medan magnet” (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang “senyawa” (kebaikan) yang sama. Itulah rumus Tuhanatau kodrat alam. Secara otomatis rumus Tuhan akan berjalan dengan sendirinya, bahwa perbuatan baik akan memancarkan sekaligus mengundang segala kebaikan datang menghampiri diri kita. Sebaliknya perbuatan jahat akan mendatangkan keburukan pada diri kita. Kebaikan yang menghampiri berupa kemuliaan hidup (surga) di dunia maupun setelah kita “lahir” ke dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Sebaliknya keburukan yang menghampiri berupa kehidupan yang hina dan aniaya (neraka). Jika kita mau mencermati “kitab sastra jendra” yang tergelar di jagad gumelar ini, bukankah sudah tampak rumus-rumus dengan jelas. Bahwa tiap-tiap senyawa yang sama memiliki kekuatan untuk saling menyatu. Maka terdapatlah berbagai macam aliran, faham, kepentingan yang bersifat konstruktif maupun destruktif masing-masing menyatu dalam wadah kelompok atau golongan yang sama dan senyawa. Melingkupi yang wadag maupun yang gaib. Maka marilah kita bahu membahu menciptakan “medan magnet” yang mulia. Pantaskah Kita Memohon ? Di antara berbagai doa dan permohonan kepada Tuhan Yang mahakuasa, bila kita memohon agar memiliki kesadaran, kemampuan, kekuatan dan kemudahan dalam melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan jagad raya seisinya, atau beramal kebaikan kepada seluruh makhluk sebagai upaya menghayati konsep ketuhanan atau “netepi titahing Gusti”, itulah permohonan yang menduduki ranking pertama paling pantas dan ideal dilakukan manusia kepada sang Pencipta. Permohonan-permohonan yang lain, menduduki ranking berikutnya. Titik Temu Rasio dan Spirit Untuk itu tugas manusia adalah mampu “nggayuh kawijcaksananing Gusti”. Mampu memahami apayang menjadikehendak alam atau kehendak Tuhan. Dengan berbagai cara yang ditempuh misalnya olah rasa atau olah batin, yakni mengolah kepekaan indera anda yang keenam. Lalu membuka wawasan pikir seluas-luasnya dengan mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan akan menjadi tiang penyangga agama. Sebaliknya kesadaran spiritual akan menuntun ilmu pengetahuan bekerja sinergis dan harmonis dalam koridor hukum alam. Target utamanya adalah terbukanya kesadaran rahsa sejati yang menyempurnakan kesadaran rasio / akal-budi.

Salam jagat semesta


dimasyayan@yahoo.com

MAKNA ELING & WASPADA



ELING & WASPADA.....
Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

ELING DIMENSI KETUHANAN

1.
Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.

2. Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.

ELING DIMENSI KEMANUSIAAN

1.
Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet.

2.
Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.

3.
Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.

WASPADA

1.
Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.

2.
Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.

3.
Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.

4.
Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat. Esensi dari sikap eling dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri. Duh Gusti Ingkang Murbeng Gesang, walaupun tanda-tanda dan bahasa alam telah Engkau tunjukkan bahkan dalam gambaran yang sangat jelas, walaupun terasa suram dan menakutkan menatap kedepan di bulan September ini, perkenankan diri ini ndableg tetap memohon-mohon tanpa malu untuk yang kesekian kalinya. Anugerahkan keselamatan, kesehatan, ketentraman, kecukupan rejeki untuk seluruh saudara-saudaraku, sahabatku, seluruh pembaca yang budiman yang sempat mampir ke gubuk ini serta seluruh saudara-saudara sebangsa setanah air, yang beragama, bersuku, ras, bahasa apapun juga, dan di manapun berada.

salam sejahtera selalu,


dimasyayan@yahoo.com

PUASA EMPAT UNSUR MANUSIA



Pada dasarnya, setiap manusia dihadapkan pada puasa yang sejatinya, dilakukan selama 12 bulan berturut-turut tanpa henti sepanjang manusia hidup. Idealnya puasa tersebut disetting menjadi prinsip dan pola hidup dalam pergaluan dan kehidupan bermasyarakat. Adapun puasa meliputi puasa 4 unsur inti manusia.

1. PUASA JASAD/RAGA/BADAN KASAR
Terdiri dari beberapa puasa antara lain PUASA MULUT yakni ; Tidak bicara yang membuat sakit hati orang lain, tidak bicara yang mencelakai orang lain. Tidak berucap yang membuat keresahan dan kegelisahan. Sebaliknya, kita manfaatkan mulut kita bertutur kata yang menentramkan perasaan sesama. Menghibur bagi yang sedang tertimpa kesusahan. Berbicara yang bersifat konstruktif dan membangun. PUASA PIKIR ; Tidak berprasangka buruk, tidak negative thinking, tidak picik akal, tidak membuat rencana buruk, destruktif, propokatif. Sebaliknya, bukalah pikiran seluas-luasnya, tidak hanya mengandalkan konsep berfikir sebagai senjata utama mengupas permasalahan, jadikan pikiraan yang mampu menerima sinyal-sinyal dari batin agar pikiran menjadi lebih cermat dan teliti. Mulailah membaca sesuatu berangkat dari pikiran yang netral dan prasangka positif. PUASA BADAN jasmani ; Tidak mengumbar nafsu makan, tidak mengutamakan kenikmatan ragawi, tidak bertingkah provokatif ; mencelakai orang lain, menyinggung perasaan orang, tidak berulah atau bersikap menganggu ketentraman dan kebahagiaan sesama. Makan pada saat rasa lapar telah tiba, berhenti sebelum kenyang. Namun lebih baik makan seadanya atau tidak mengada-ada atau memaksa mengadakan. PUASA TELINGA ; tidak memanfaatkan telinga untuk sesuatu yang merugikan dan mencelakai orang lain. Sebaliknya, telinga dimanfaatkan untuk tindakan-tindakan yang konstruktif, yang dapat membangun kemuliaan hidup diri sendiri dan orang banyak.

2. PUASA HATI/KALBU/CIPTA
Tidak iri dan dengki terhadap prestasi orang lain, tidak panasten, tidak melecehkan dan meremehkan pendapat orang lain sekalipun ia kita sangka bodoh, karena jalma tan kena kinira. Tidak kagetan, tidak gumunan, tidak egois, tidak picik hati. Sebaliknya; menjadikan hati sebagai gudang ilmu dengan cara membuka hati dari luasnya ilmu pengetahuan dan sumber-sumber kebenaran.

3. PUASA JIWA/SUKMA/ROH
Tidak berkeinginan yang berlebihan atau melebihi batas kewajaran. Tenang, awas, tidak mudah terkecoh, tidak mudah panik dan gundah. Selalu eling dan waspada. Eling sangkan paraning dumadi, waspada terhadap segala hal yang menjadi penghalang kemuliaan hidup.

4. PUASA RAHSA
Duwe rasa, ora duwe rasa duwe. Akan menjadikan batin lebih tenang, hati tenteram, pikiran jernih, tidak mudah kecewa dan patah hati, badan selalu sehat jasmani dan rohani.
Di antara puasa 4 unsur tersebut tentu saja puasa unsur yang ke 2, 3 dan ke 4 semakin sulit dijalani. Namun tanpa pernah kita belajar dan mencobanya, ibarat komputer yang specnya dilengkapi dengan software tinggi dan canggih, namun software tersebut menjadi sia-sia. Sebab kita tidak bisa memanfaatkan performance dari software pemberian Tuhan secara optimal.


salam sejahtera selalu

dimasyayan@yahoo.com

Minggu, 09 Agustus 2009

Membangun Kesadaran Rasa Sejati



DINAMIKA PERKEMBANGAN

ILMU ILMIAH MODERN, DAN INTUISI

PRIMITIF-MODERN-POSTMODERNISM

“Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati”



Prologue

Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.



Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia. Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : “kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu”.



Kesadaran; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan

Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik (wadag), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum lah genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib.



Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati. Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh (asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis ..it’s nonsense ! Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tak cukup hanya berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman akal-budi (rasionalisme-empirisisme) saja.



Kesadaran adalah Proses yang Dinamis

Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad/ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah.



Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta

Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.



Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan berlebihan atau lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling dan waspadha.



Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula. Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa latu adadamar ; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (the problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu.



TAHAP-TAHAP KESADARAN



1. Kesadaran Jasad

Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri (survival) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ubo rampe naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. Jika ada sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri (tanpa analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan hadiah/menyamankan tubuh (stick & carrot). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal yang sanggup direspon oleh naluri hewani.



Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia pada galibnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam (harmonisasi).



Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.



Kesadaran Akal Budi

Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara empiris (empirisisme).



1. Kesadaran Nalar

Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, category, form, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (nggawa latu) sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada (fenomenon). Namun Organon sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri (being) yang melampaui akal-budi manusia.



Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam scope kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan (conclusion) sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).



2. Kesadaran Empirisisme

Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip Organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi. Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance abad pertengahan di Barat.



Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.



Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.



Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran) di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.



Dinamika Kesadaran A La Barat

Sejenak kita flash back, sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat ontologi, ephistemologi, dan aksiologi, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?



Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?. Kedua, versus hakikat (noumena/essence): Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?



Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang kowledge pada zaman renaissance. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.



Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat/essence kehidupan (noumena) di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan kodrat/hukum alam. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata wadag (fenomena) toh tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat” hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan.



Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya.



Keterbatasan Kesadaran Akal Budi :

Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui noumena, berupa realitas hakekat atau essence. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut. Pertama, sebatas pengetahuan kognitif (cognitive science). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan : “…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis. Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau fenomena. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.



Kedua, sebatas penafsiran subyektif. Melalui instrospeksionisme (introspectionism). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.



Ketiga, bersifat relative-obyektif. Dalam disiplin sosiologi terdapat pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (marxianism: sosialisme, komunisme leninisme dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam perspektif sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (spiritual) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.



KESADARAN INTUITIF

Menjawab kelemahan Bacon di atas, seorang filsuf P.D. Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran yang bersifat intuitif yang merangkum keduanya, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi (higher consciuousness) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (higher reality). P.D. Ouspensky menyebut temuan metodenya dengan berbagai istilah: Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic. Sebuah metode sebagai upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan yang esensial (noumena). Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu. Mafhum lah kita mengapa sikap para filsuf besar Yunani tampak paradoksal dengan mengatakan bahwa; semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya.



Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi menurut Webster Dictionary adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu. Senada dengan itu menurut psikolog sosial dan sekaligus pengikut Guru Besar Psikologi Daniel Kahneman pada Princeton University, David G. Myers (Intuition; Its power and perils; 2002) pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa usaha. Kalimat Kahneman yang menjadi pedoman Myers adalah ; ….kami mempelajari berbagai intuisi, beragam pemikiran dan preferensi yang mendatangkan pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.



Berangkat dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif yang banyak mengandung misteri kehidupan, lebih lanjut Ken Wilber (dalam: An Integral Theory of Consciousness, 1997) menyarankan agar melakukan pendekatan secara integratif. Setidaknya menempuh dua langkah berikut; Pertama penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa eksistensi kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika), beyond side. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Saran Wilber sangat bijaksana, namun demikian, pendekatan integral ini lebih terasa sebagai himbauan moral saja. Ia tidak mengkonsep secara tegas dalam tataran aksiologi sebagai terobosan ilmu pengetahuan.



Dasar manusia, tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan intuisi manusia. Disebut sebagai teori energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini, hipotesis penelitian dilakukan dengan berpijak pada asumsi atau pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti tenaga dalam, aura, prana, ki, dan chi. Wilber secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya.



Meredam Arogansi Ilmiah

Jika dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan tetapi, paling tidak Wilber menegaskan bahwa fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini arogansi ilmiah sedapat mungkin harus dicegah. Saran Wilber tersebut patut dijadikan warning, betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan paca indera saja seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri kehidupan. Hegemoni arogansi ilmiah justru membuat manusia teralienasi dengan ke-ada-an misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen “orang suci” yang telah menghegemoni kesadaran intuisi umat manusia dengan doktrin yang menciutkan hati. Ironis sekali, sebuah kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya. Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapaun yang tertarik mengembangkan intuisi harus meredam arogansi ilmiah termasuk arogansi dogma-dogma, lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. Jika rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat– bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada (being) di luar fikiran kita sebagai kebenaran esensial noumena.



Benar kalimat nenek-moyang bangsa kita, Nggawa latu adadamar. Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai modal utama untuk membuka kesadaran intuitif kita. Yakni, adanya kesadaran bahwa kecenderungan rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya. Terlebih lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana pembanding lainnya, sebagai data komparatif yang akan diolah rasio.



Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran

Sekalipun gaib/abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara logic dan empiris. Hanya saja pembuktian terencana dan empiris lebih sulit dilakukan. Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat spontanitas saja. Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada korelasinya. Seorang enterpreneur sejati, seniman dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. Intuisi adalah awal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih.



Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat kontemplatif. Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten. Tak puas hanya dengan melakukan kontemplasi, terdapat pendekatan Psikologi Perkembangan. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia berupa kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.



Contoh Bekerjanya Intuisi

Intuisi adalah hal yang sepele namun tak bisa dianggap sepele. Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan non-sense dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan (baca: kodrat alam). Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga al hasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika milik sendiri.



Sekedar contoh proses diperolehnya kebenaran intuisi terdapat dalam beberapa contoh kasus berikut:



Pada tanggal 1 bulan Mei 2006, sewaktu duduk berbincang dan diskusi bersama kawan-kawan, istri tiba-tiba berteriak histeris sambil terkesima, secara tidak sengaja melihat seperti kelebatan gambaran (view) seolah melihat “layar tancap” yang berisi “film” kejadian guncangan gempa dahsyat sekali. Dalam kelebatan tersebut sekilas tampak papan penunjuk arah tertera tulisan Ke Jl. Parangtritis, Ke Bantul, Klaten, Yogyakarta. Sehari kemudian jam 18.00 bayangan itu muncul lagi, namun kali ini sekelebat tertera tanggal “27”. Dalam gambaran itu tampak seolah gempa terjadi waktu remang-remang, tidak jelas apakah pagi atau sore hari. Ternyata bayangan itu benar-benar terjadi tanggal 27 Mei 2009. Antara tanggal 1 mei hingga tanggal 26 Mei, status bayangan tersebut belumlah sebagai kebenaran intuisi. Namun ketika gempa benar-benar terjadi persis tanggal dan harinya, barulah bayangan itu menjadi kebenaran intuisi.



Dalam alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya karena dalam metode intuisi kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi. Posisi kita sebagai obyek intuisi sangatlah determinan, hanya menunggu bukti itu terjadi dengan sendirinya. Selain itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. Lamanya pebuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka.



Contoh lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca yang budiman pernah mengalami kejadian serupa.



Bekerjanya intuisi kita biasanya dimulai dari kasus-kasus sederhana. Sebagai contoh misalnya: anda tiba-tiba merasakan keinginan kuat dari dalam lubuk hati untuk menelpon teman anda yang lama tak ada kabar berita. Setelah anda menelpon ternyata teman anda sedang mengharapkan bantuan anda. Contoh lain misalnya anda tak tahu entah alasan apa namun merasa ingin sekali kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah anda mendapati seorang pencuri mencoba masuk ke rumah anda. Anda bebas mengartikan intuisi anda sebagai ilham, ataukah nurani, bisikan gaib, karomah, wangsit, laduni atau sasmita. Ilustrasi yang lain, misalnya anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba orang yang bersangkutan menelpon atau mengunjungi anda. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan. Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata wadag anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki (enigma), semakin mudah menyaksikan eksistensi gaib (noumena) di sekitar anda.



Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula six-sense. Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan, akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh temuan baru (discovery) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. Bahkan apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan metode ilmiah paling kontemporer sekalipun. Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (higher consciuousness) tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran.



Pertanyaannya; Mungkinkah suatu saat ditemukan kamera canggih yang dapat mengambil gambar wujud roh ? Tidak tertutup kemungkinan ! Mungkin sudah menjadi kodrat/rumus Tuhan bahwa perkembangan kesadaran intuisi (batin) manusia berkembang lebih pesat jauh meninggalkan kesadaran akal-budi.



Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa intuisi bekerja secara misterius, kesadarannya dapat melampaui kecepatan kesadaran akal-budi. Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan. Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta untuk membuka segenap enigma sebagai noumena, kebenaran esensial yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia.



Pemberdayaan Intuisi a la Timur

Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai given (anugrah dari Tuhan) yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan. Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.



Javanese Tradition

Manusia memiliki kecenderungan ontologis untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui kasunyatan (kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional (akal-budi) dan empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur rasa di luar jasad (six-sense). Dengan mengasah intuisi atau pemberdayaan indera (ke-enam) sebagai indera perasa kita yang ada dalam rasa sejati (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki rasa sejati sebagai indera ke-enam (six sense). Namun demikian six sense kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka indera ke-enam terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Hampir senada, Dr. A Ciptoprawiro (dalam bukunya: Filsafat Jawa; 1986) mencoba menjelaskan intuisi dengan mengatakan kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa perasaan & pengetahuan.



Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks perasaan pengetahuan tersebut harus dibedakan dengan perasaan panca indra. Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai rahsa sejati atau rasa jati. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau berfikir dengan hati. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan menggalih (analisa menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu persoalan berat, orang Jawa sering mengatakan, akan melakukan ngenggar-enggar penggalih. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku atau kesadaran rasa sejati tidak bersifat statis tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran.



Tradisi Jawa mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi indera ke-enam kita. Yakni antara lain dengan cara semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata, dan laku prihatin. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan nafsu negatif atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas rahsa sejati, yakni berupa indera ke-enam kita yang menjadi “mata tombak” mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan dinamisme 1500-100 SM jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai ruang-ruang gaib dengan menyaksikan noumena, berbagai eksistensi metafisika nan mistis. Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat. Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan mistisism. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan rahsa sejati dengan cara: nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (waskitha). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disipkan pepéling (pengingat) termasuk dalam tradisi kesenian tembang terdapat gaya pangkur. Pangkur bermakna nyimpang såkå piålå, mungkúr såkå nafsu dur angkårå.



Dalam tradisi Jawa keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada kewaskitaan para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan futurolog masyhur seperti ; KGPAA Mangkunegoro IV, Raden Ngabehi Ranggawarsita, P Jayabaya, RM Sastra Nagara, Mbah Ageng (Ki Metaram) Juru Nujum Sri Sultan HB IX, KPH Cakraningrat dan masih banyak lagi. Di negara barat seperti Nostradamus, Jucelino Noberga da Luz dan Franciscoshabiz (Brazilia), John Naisbitt, Suku Bangsa Maya dll. Berbagai ajaran spiritual Jawa bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu. Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga pencapaian hasilnya berbeda-beda. Ahli spiritual Jawa tidak mengenal kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “gentur laku” mulai dari wong cilik, rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan. Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi sebagai cagar budaya sekaligus menjadi centrum cagar spiritual hasil “olah batin” para leluhur bumi nusantara.



Pada saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dsb. Paling tidak terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi. Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci dsb karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali kemampuan intuitif sejak lahir sebagai talenta untuk menemukan kebenaran sejati. Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat yang berada dalam ruang universalitas nilai. Tidak diperlukan pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan akan beresiko fragmentasi, terkotak-kotak terbatas dalam ruang yang sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad.



Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga ngelmu tuwa, yang berhasil meraihnya disebut “uwong tuwa” atau sesepuh. Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau ngelmune tuwa atau orang yang tinggi ilmunya. Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (mbodoni), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap. Jika berhadapan langsung pun kadang justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa disangka-sangka dan diduga-kira ketinggian falsafah hidupnya.



Bagi yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif thinking. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi beyon side, eksistensi yang ada di luar akal-budi kita (noumena). Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri. Asal mau membiasakan diri ; memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri atau ditolak. Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama, selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita. Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan dan khayalan keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati disebut pula sebagai hati nurani (kareping rahsa).



Jika diurutkan cara bekerjanya intuisi adalah sebagai berikut :

rahsa sejati (kareping rahsa) — sukma sejati (guru sejati) — getaran hati (nurani) – intuisi — respon otak (imajinasi)



Bandingkan dengan kronologi nafsu berikut ini :

obyek yang menyenangkan –- panca indera –- hati -– respon otak (imajinasi atau perencanaan pemenuhan hasrat/keinginan jasad)



Kesadaran

Dalam ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni; (1) Jasad, (2) akal-budi, (3) nafsu, (4) roh, (5) rasa (indera ke-enam), (6) cahya, (7) atma. Intuisi setara dengan kesadaran urutan ke lima. Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni orang pilihan, dan orang awam.



Orang Awam (kesadaran lahiriah)

Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (nawung kridha) atau wahdatul wujud, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teksbook, referensi) dan dari mulut ke mulut, kulak jare adol jare, ceunah ceuk ceunah, serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.



Orang Pilihan (kesadaran batiniah)

Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini dalam terminologi Jawa lazim disebut Nawung Kridha atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat kesadarannya semakin tinggi pula. Disebut juga sebagai satu mungging rimbagan, yakni orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran curiga manjing warangka, atau dwi tunggal (loroning atunggil), pamoring kawula Gusti, atau manunggaling kawula Gusti. Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana, sedangkan dalam terminologi Latin sebagai Imago Dei, sementara istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya Orang Biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati sajroning ngaurip (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (rahsaning karep) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (kareping rahsa). Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya six-sense kita.



Beberapa Tipe Orang Pilihan

KRT. Ronggo Warsito dalam karyanya suluk Pamoring Kawula Gusti, berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni :



1.Tipe Etis ;

yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah waskita dan susila anor raga. Orang pilihan tipe etis telah mampu megharmonisasi antara batin dengan perbuatannya. Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan dalam cerita wayang dengan lakon Wisnu Murti, yakni Prabu Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang Bimasuci, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai kesadaran triloka yakni alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut rijalul gaib.



2.Tipe Kosmologis ;

yakni olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal dan mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos mencapai high consciuousness dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati, yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin patipurna; batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata. Maka secara emanatif manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat cahya sejati nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang transenden yakni; sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal alam kelanggengan nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya sejati (disebut pula nurulah). Asal roh adalah hakekat cahya yang suci maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. Inikah yang sebenarnya sebagai hakekat “malaikat” ? silahkan anda telaah sendiri.



3. Tipe Teologis ;

Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara rasional locic sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang untouchable makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat di mana suatu agama dahulu dilembagakan.



Ngelmu Kasampurnan

Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi manusia (highest consciuousness). Maka dalam istilah Jawa ilmu kasampurnan disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran. Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Idiom Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil menggapai ilmu kasampurnan, yakni; jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah. Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar kemampuan akal-budi (kawaskithan). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.



Pencapaian kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah; yakni sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih rahsa sejati (lihat thread; Serat Wedhatama). Wedha adalah petunjuk atau laku/langkah, Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (solah tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan batin atau båwå. Wujud solah akan merefleksikan keadaan båwå dalam batin, namun kesadaran båwå juga termanifestasikan ke dalam wujud solah. Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan båwå, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual) dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;



1. Madu Båså

Meliputi adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang yang mampu membawa diri, mawas diri atau mulat sarira. Kata-kata yang tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan ajining diri kerana lathi. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa yang ada dalam ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju. Itulah bahasa akan menjadi “madu” tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.



2. Madu Råså

Meliputi empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga. Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat. Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami bahwa derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan oleh perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama. Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain. Keadaan mental seseorang madu rasa, memiliki kematangan, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap, tanggap, empatik dan peduli lingkungan.



3. Madu Bråtå

Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha, eling terhadap sangkan paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan. Kedua, madu brata diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk menyebut seseorang yang dapat menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan kesadaran lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam. Madu brata, “madu”nya perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai jagad kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar memiliki hubungan yang harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala alam. Madu bråtå sepadan dengan sikap hamemayu hayuning bawånå. Ketiga, pangastuti dan rasa sejati yang dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti. Seseorang memiliki daya batin yang jinurung ing gaib, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam, atau kodrat alam lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka Idune idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan, sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).



Senada dengan serat Wedhatama, dapat dilihat dalam Filsafat Widyatama, terdapat dalam suluk Sukma Lelana, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran tentang Widyatama atau ajaran tentang lakutama, yakni perilaku utama, atau budi pekerti yang luhur. Dikemas dalam bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat kehidupan adiluhung, dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup (ngudi kawicaksanan), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan). Di dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad, kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (kasampurnan). Orang yang ngudi kawicaksanan dan kawaskitan disebut sebagai seorang jalma sulaksana.



Kemampuan Hewan dengan Manusia

Mengulas tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri pada jalur hukum alam atau kodrat Tuhan. Hal ini sekilas tampak paradoksal namun kenyataannya demikian adanya. Karena di satu sisi akal manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu. Resikonya adalah penguasaan nafsu atas jiwa (lihat thread; Mengenal Jati Diri; Hakekat Neng ning nung nang). Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah kira.



Jalan satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran, sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah, akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina di dunia.



Dalam konteks demikian tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karena hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas kemampuannya. Sebaliknya manusia terbebani untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan, kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya adalah malapetaka di dunia maupun setelah ajal tiba.



Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah,

Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.



Satu kebenaran intuitif seseorang

bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang

Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuitif

Tidak sebanyak jumlah manusia di bumi

Apalagi sebanyak bintang di langit



SEMOGA BERMANFAAT,

dimasyayan@yahoo.com